Showing posts with label Berita Tentang Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Berita Tentang Pendidikan. Show all posts

Wednesday, April 22, 2009

Biaya Yang Aneh

Sebuah SMU negeri (gak usah disebutin ya sekolahnya) mau merenovasi sekolahnya. Untuk sementara kegiatan belajar-mengajar dipindahkan ke sebuah SD negeri.

Yang aneh buat Chi adalah setiap orang tua dimintai biaya Rp. 300.000/- per siswa katanya sih untuk biaya renovasi. Ya aneh aja.. kenapa harus orang tua yang di bebanin? Kan itu sekolah bukan punya orang tua kita...

Ah pokoknya aneh lah...

post signature

Continue Reading
1 comment
Share:

Thursday, August 28, 2008

Berpikir Nalar Dan Kritis

Postingan ini Chi ambil dari webnya Yudhis & Tata, tapi sebenernya yang nulis adalah mas Yanuar dan postingannya bisa diliat di sini.

Berpikir Nalar & Kritis

Salah satu pekerjaan 'sambilan' saya sebagai dosen dan peneliti di Universitas Manchester adalah mendampingi mahasiswa program magister dan doktoral dalam menulis kertas kerja atau disertasi atau thesis mereka.

Bagi saya menarik mengamati dan terlibat bagaimana proses para mahasiswa itu menalar persoalan dan menjadi kritis. Saya tidak terlalu menghadapi masalah dengan para mahasiswa asal eropa pada umumnya. Mungkin karena mereka terbiasa dididik berpikir dan menalar secara kritis (dan independen). Tetapi saya menemukan hal yang berbeda ketika bekerja dengan para mahasiswa asal Asia dan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia dan Filipina (Singapura dan India tidak).

Mereka cenderung "setuju saja" pada apa yang dikatakan buku, enggan berpikir "out of the box". Proses menalarnya sangat "formal" dan bisa dibayangkan, jauh dari kritis. Dan saya makin sedih melihat fakta bahwa mahasiswa Indonesia rata-rata adalah yang paling lemah dibandingkan dua negara tetangga itu. Tentu ini bukan terjadi pada semua mahasiswa indonesia, tetapi setidaknya kecenderungan itu tampak jelas.

Memang sistem studi lanjut di sini (Inggris khususnya) menekankan kemandirian. Orang dilepas untuk mencari sendiri jawaban dari apa yang ditanyakannya. Orang dituntut untuk kreatif, dan pada saat yang sama, mandiri. Mahasiswa asal Indonesia nampaknya sangat tidak terbiasa dengan itu. Apalagi ditambah dengan kendala bahasa.

Karena biasa "dicekoki" sejak SD sampai kuliah, mereka tidak biasa berpikir dan belajar mandiri.Bahkan sering mereka tidak tahu apa yang dimauinya sendiri. Contohnya ketika diminta memilih satu dari lima topik untuk research paper, mereka datang ke saya dan bertanya "pilih yang mana ya mas?".

Padahal bukankah itu kebebasan yang luar biasa? Tetapi malah bingung diberi kebebasan seperti itu. Juga kalau ada tugas/assignment untuk mengeksplorasi teori atau gagasan, mereka sering bertanya, "yang mana yang sebaiknya dieksplorasi?" padahal itu kesempatan luar biasa bagi mahasiswa untuk menjelajah dunia ilmu.

Banyak orang ke Inggris karena pertimbangan kebebasan berpikir dan eksplorasi akademis ini. Tetapi nampaknya justru tidak demikian bagi kebanyakan mahasiswa kita, yang persis seperti ayam di lumbung padi yang bingung memilih beras mana yang mau dipatuk.

Sedih, ironis. Tak heran kalau mereka sering mereka mengeluh "stress" kepada saya. Tak banyak yang bisa saya lakukan kecuali mengadakan sesi di luar kelas untuk bimbingan menulis atau meneliti atau mengerjakan tugas. Saya sebenarnya tak pernah percaya orang indonesia itu kalah cerdas (kapasitas otak) dibandingkan dengan orang lain di dunia ini. Tapi, saya khawatir, sistem pendidikan kita tidak terbiasa mengoptimalkan kapasitas berpikir kita. Saya kira ini yang perlu dan harus diterobos.

Continue Reading
No comments
Share:

Saturday, July 26, 2008

Usia Minimal Anak Masuk SD Tahun 2009 Adalah 7 Tahun

Tadi Chi baru aja pulang dari pertemuan orang tua murid di sekolahnya anak-anak. Disana pemimpin sekolah, berbicara tentang banyak hal. Salah satunya adalah adanya kemungkinan pemerintah akan membuat aturan baru untuk tahun ajaran 2009, bahwa usia minimal masuk SD adalah umur 7 tahun.

Aturan ini tadinya akan diberlakukan pada tahun ini, tapi kemudian di batalkan (alasannya tidak di ketahui). Bukan dibatalkan sih, katanya cuma diundur ke tahun 2009.

Walaupun menurut pemimpin sekolah semua ini baru berupa kemungkinan, tapi yang harus menjadi catatan & pertimbangan orang tua adalah bagaimana kalo peraturan itu jadi diterapkan? Mengingat sekarang ini kan pastinya banyak sekali lulusan TK yang berusia 6 tahun (bahkan mungkin ada yang kurang).

Chi pribadi yakin kalo peraturan ini jadi di terapkan pasti akan menimbulkan protes yang cukup besar dimana-mana. Tapi ya… bukan rahasia lagi kan kalo pemerintah sudah menetapkan suatu aturan mau protes bertebaran dimana-mana kek, kecil kemungkinan peraturan itu akan berubah. Realitanya seperti itu kan..?

Pemimpin sekolah anak-anak memberikan beberapa info alternative apabila peraturan ini jadi diterapkan. Salah satunya adalah masuk SD swasta. Karena berdasarkan informasi yang pemimpin sekolah anak-anak dapatkan, sekolah swasta masih mau menerima siswa yang berusia kurang dari 7 tahun (Kalo peraturannya jd diterapkan ya..) dengan syarat membawa surat rekomendasi dari TK asal yang menyatakan bahwa anak kita telah lulus dari TK tersebut & juga membawa surat keterangan dari psikolog yang menyatakan bahwa anak kita sudah cukup matang untuk memasuki jenjang SD.

Sementara untuk sekolah negeri, menurutnya ada kemungkinan tertutup bagi usia kurang dari 7 tahun. Karena sekolah negeri merekan kan mengikuti aturan pemerintah.

Alternatif lainnya adalah mengulang 1 tahun lagi di TK. Dan menurut pemimpin sekolah anak-anak kalo itu terjadi, sekolah sudah mengantisipasi tentunya materi TK B untuk anak yang mengulang dengan materi anak TK B yang baru naik dari TK A akan di bedakan.

Menurut Chi banyak selain alternative-alternatif lain selain 2 alternatif yang sudah disebutkan lagi. Sekali lagi Chi bukan ingin menakuti-nakuti, tapi Chi justru ingin mengajak rekan-rekan untuk sharing. Siapa tau dengan sharing akan terbuka beribu-ribu alternative yang tadinya tidak terpikirkan oleh kita semua. Jadi kita tidak hanya pasif & pasrah menerima peraturan pendidikan yang terus berubah-ubah, seolah-olah anak-anak kita ini hanya di jadikan kelinci percobaan. Biar gimana mereka adalah anak-anak kita kan, kita sebagai orang tuanya pasti lebih tau mana yang terbaik untuk anak kita.

Chi & Kak Aie sendiri sudah sejak lama memutuskan ketika anak-anak kami masuk jenjang SD nanti Insya Allah sudah sangat mantap untuk ber-HS. Jadi ada atau tidak ada peraturan ini pun sebenarnya tidak ada efeknya untuk kami ya? Tapi Chi sangat sadar gak semua orang tua memilih pilihan HS untuk anak-anaknya. Chi pun tidak bisa memaksakan pilihan Chi ini untuk semua pihak. Karena yang cocok & terbaik untuk anak-anak Chi belum tentu cocok & terbaik untuk keluarga lain. Jadi mari kita saling sharing ya… Walaupun aturan ini belum ada kepastian untuk di terapkan, atau kalo pun sudah pasti di terapkan kan masih 1 tahun lagi. Tapi gak ada salahnya kan kalo kita mulai dari sekarang untuik memikirkan? Daripada nanti kita cuma bisa terkaget-kaget, panik lalu akhirnya hanya bisa pasrah deh. Gimana moms? Sharing yuk…

Continue Reading
5 comments
Share:

Friday, July 4, 2008

E-book Dari Diknas

Ada kabar gembira nih dari Diknas, katanya kita bisa mendownload buku pelajaran gratis. Iklannya lumayan gencar kayaknya (pernah liat di tv juga).

Dengan semangat '45, mulai deh buka webnya di http://bse.depdiknas.go.id. Tapi ternyata sampe detik ini kok belom berhasil juga ya? Apa jangan-jangan internet di rumah nih yang lemot. tapi setelah search di google, ternyata kesalahan bukan pada komputer anda. Emang dari sananya yang bermasalah kayaknya. Kira-kira kenapa tuh?

Continue Reading
No comments
Share:

Friday, June 6, 2008

Pendidikan Yang Curang

Sebelumnya pernah baca berita ini di koran kompas, sekarang di copy paste dari kompas.com. Kok adanya UN malah jadi seperti menciptakan budaya jelek ya? Gak mau ikutan jadi kayak gitu ah...

DIDAKTIKA
Pendidikan yang Curang



Senin, 26 Mei 2008 03:00 WIB
Nurhaji Ali Khosim


Siang itu, di sebuah sekolah dasar di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, sedang berlangsung ujian tengah semester untuk kelas VI. Seorang ibu guru dengan tekun mengawasi anak didiknya. Murid-murid terlihat serius mengerjakan soal ujian.

Sekilas tidak ada yang aneh di dalam kelas itu. Tetapi, ibu guru tadi tidak bisa ditipu oleh tingkah murid-muridnya. Bagaimana tidak, sedikit lengah, anak-anak SD itu dengan terang-terangan di hadapan gurunya berani mencontek hasil pekerjaan temannya atau menjiplak buku yang ada di dalam laci bangku tanpa merasa bersalah.

Ibu guru itu bingung, tidak tahu harus berbuat apa agar anak-anak itu jera dan tidak berbuat curang lagi. Tidak ada sedikit rasa takut pada anak-anak itu ketika berbuat curang.

Dia tidak mungkin memukul atau menggunakan kekerasan fisik untuk membuat jera karena tindakan tersebut jelas akan ”melanggar HAM”. Tidak mungkin pula dia mengeluarkan anak-anak tersebut dari ruang kelas karena hampir semua murid mencontek atau menjiplak.

Memberi nilai jelek juga bukan solusi cerdas karena dia akan berhadapan langsung dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan prestasi sekolah. Memberi peringatan dan ancaman malah menjadi bumerang bagi dia karena bisa dipastikan muridnya akan balik mengancam.

Ibu guru itu hanya berharap murid-muridnya segera lulus. Tidak lagi menjadi beban ataupun ancaman bagi dia maupun sekolah. Dia tidak lagi peduli, apakah siswa itu layak lulus atau tidak. Yang penting anak-anak didiknya akan lulus dengan nilai memuaskan, meskipun nilai tersebut didapat dengan cara curang.

Budaya menjiplak
Cerita di atas bukanlah ilustrasi atau rekayasa. Itu adalah kenyataan pahit yang terjadi pada dunia pendidikan kita. Berlaku curang dalam mengerjakan soal telah menjadi budaya pelaku pendidikan di Indonesia, dari anak-anak sekolah dasar sampai mereka yang kuliah pascasarjana.

Mencontek dan menjiplak bukan dominasi murid sekolah. Banyak ditemukan, skripsi dan tesis mahasiswa pascasarjana yang hanya copy-paste (proses mencetak ulang-menempel di komputer) dari karya orang lain. Bahkan juga guru-guru yang mengikuti seminar dan diklat bohong-bohongan hanya demi selembar sertifikat.
Pada tingkat sekolah dasar, berbagai trik dan cara dilakukan siswa untuk mencontek dengan cara sangat sempurna. Dari menyalin pelajaran di kertas-kertas kecil kemudian diselipkan di tempat tertentu hingga menulis materi pelajaran di meja. Mereka yang melek teknologi informasi dapat memanfaatkan telepon genggam sebagai sarana mencontek.

Mereka yang orangtuanya kelebihan uang dapat membeli bocoran soal dan kunci jawabannya sekaligus. Yang paling licik, mereka selalu mengawasi guru, yang seharusnya mengawasi murid-murid itu. Bekerja dengan usaha sendiri dan perilaku jujur sudah menjadi barang langka.

Mengapa siswa sekolah yang seharusnya telah mendapatkan pelajaran budi pekerti itu berlaku tidak jujur?

Sering dibohongi
Anak-anak berlaku curang karena sering dibohongi. Orangtua yang sering berkata bohong, membeli buku lembar kerja siswa yang isinya bohong belaka, terlalu sering melihat iklan televisi yang banyak bohongnya, hingga tayangan sinetron TV yang ceritanya juga melulu bohong.

Imbauan kepada anak didik agar selalu rajin belajar dan selalu berkata jujur akhirnya hanya menjadi omong kosong. Imbauan itu sama sekali tidak mempunyai makna jika anak didik tersebut tidak mendapatkan contoh nyata dari guru dan dari orangtua sendiri.

Anak-anak akan merespons dan akhirnya meniru perilaku orang dewasa. Perilaku anak-anak dipengaruhi oleh pengamatannya terhadap perilaku orang lain.
Tuntutan dari sekolah maupun dari orangtua untuk selalu mendapatkan nilai tinggi pada akhirnya memberi ruang gerak bagi siswa untuk melakukan perbuatan curang. Malas berpikir dan mencari jalan pintas adalah solusi.

Peran guru dan orangtua
Saatnya guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, orangtua, ataupun dinas pendidikan menjadi contoh perbuatan yang berdasar kejujuran. Guru tidak perlu membantu mengerjakan soal ujian hanya demi nilai tinggi.

Kepala sekolah juga tidak perlu menyogok karena hanya ingin menjadi pengawas sekolah. Begitu pula dengan dinas pendidikan, jangan memaksa kepala sekolah agar siswa sekolah binaannya lulus 100 persen.
Sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai harus dilakukan. Perilaku jujur bagi siswa merupakan modal menuju pendidikan ke arah lebih baik. Anak-anak hanya butuh contoh yang baik dari guru dan orangtua. Tidak lebih dari itu.

NURHAJI ALI KHOSIM Guru SD, Mengajar di Klaten; khosimjo@gmail.com

Continue Reading
No comments
Share:

Thursday, June 5, 2008

UASBN Bahasa Indonesia Aneh!

Habis baca berita tentang pendidikan di kompas.com, yang mengulas tentang keanehan dalam UASBN Bahasa Indonesia. Isinya seperti ini...

UASBN Bahasa Indonesia, Aneh!
Senin, 12 Mei 2008 00:15 WIB
Oleh Hanif Nurcholis

Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2007 tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional, pada Mei 2008 semua SD/MI di Indonesia akan menyelenggarakan UASBN. Salah satu mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa Indonesia. Pada lampiran permendiknas tersebut ditetapkan cakupan standar kompetensi lulusan.

Dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) tersebut termuat hal-hal yang akan diujikan, mencakup indikator-indikatornya, materinya, dan bentuk soalnya.

Untuk Bahasa Indonesia, SKL yang akan diujikan hanya aspek membaca dan menulis, sedangkan aspek mendengarkan dan berbicara tidak diujikan. Untuk mengetahui apakah siswa menguasai dua SKL tersebut atau tidak, ia akan diukur dengan alat uji berupa soal obyektif pilihan ganda sebanyak 50 butir dalam waktu 120 menit.

Melihat cakupan SKL yang akan diujikan dan instrumen ujinya, khususnya untuk SKL Menulis, sudah sepatutnya para guru, pakar pendidikan, pemerhati pendidikan, organisasi profesi pendidikan, dan masyarakat luas menolak hasil ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) 2008 Bahasa Indonesia karena dua hal. Pertama, lingkup SKL yang diujikan tidak sesuai dengan SKL nasional. Sesuai dengan Permendiknas No 23/2006 tentang SKL, SKL mata pelajaran Bahasa Indonesia terdiri atas empat komponen: Mendengarkan, Berbicara, Membaca, dan Menulis. Dengan demikian, dua SKL, Mendengarkan dan Berbicara, tidak diujikan, padahal siswa dilatih dan dibimbing oleh gurunya dalam proses pembelajaran untuk menguasai dua SKL ini.

Kedua, dilihat dari validitas isi, menguji kemampuan menulis dengan instrumen berupa soal pilihan ganda jelas sangat tidak valid.

Dengan hanya menguji SKL Membaca dan Menulis, berarti hasil UASBN yang menjadi penentu kelulusan tidak bisa dipertanggungjawabkan karena hanya menguji 50 persen SKL nasional. Akan tetapi, sebenarnya hanya 25 persen sebab instrumen penilaian untuk SKL Menulis juga tidak valid.

Ketidaksahihan alat uji SKL Menulis tersebut terkait dengan keluarnya tiga kurikulum terakhir: Kurikulum 1994, KBK 2004, serta Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan 2006. Ketiga kurikulum tersebut sudah tidak mengamanatkan pengajaran kebahasaan/linguistik dan ejaan, tetapi pembelajaran keterampilan berbahasa.

Ketiga, kurikulum tersebut mengembalikan pelajaran bahasa pada khitahnya: sebagai alat komunikasi. Isi pelajaran bahasa adalah melatih siswa agar mampu berkomunikasi: mampu menangkap informasi dan gagasan dari luar (receptive ability) melalui aktivitas membaca dan mendengarkan, serta mampu menyampaikan gagasan dan pikiran sendiri kepada orang lain (productive ability) melalui aktivitas berbicara dan menulis.

Pelajaran kebahasaan dan ejaan hanya diajarkan sebagai pendukung agar kemampuan produktifnya, baik berupa tulisan maupun ucapan, sesuai dengan kaidah bahasa. Dengan demikian, hasil belajar SKL Menulis adalah kemampuan produktif anak, yaitu kemampuan mengembangkan gagasan yang berada di otak, lalu menuangkan gagasannya tersebut dalam bentuk tulisan di kertas berupa karangan sederhana, surat, pengumuman, puisi, pantun, teks pidato, dan lain-lain.

Hasil belajar SKL Menulis seperti itu, sesuai dengan Permendiknas No 20/2007 tentang Standar Penilaian dan Pedoman Penilaian Hasil Belajar (Depdiknas-Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah 2007), hanya bisa diukur dengan penilaian produk dan penilaian portofolio, bukan dengan tes obyektif pilihan ganda.

Bagaimana bisa, kemampuan menulis karangan sederhana, surat, pengumuman, teks pidato, puisi, pantun, dan lain-lain diukur dengan menyuruh siswa membaca stem dan option lalu memilih option. Menulis adalah kemampuan produktif, sedangkan membaca stem dan option lalu memilih option adalah kemampuan receptive karena hanya memahami gagasan dan logika orang lain lalu memilih mana yang paling logis dalam konteks kalimat/paragraf dan kebahasaan, sama sekali tak ada aspek produktif. Padahal, yang diminta SKL Menulis adalah siswa mampu memilih kata, menyusun kata menjadi kalimat, paragraf, dan wacana untuk membuat karangan sederhana, petunjuk, surat, pengumuman, teks pidato, puisi, pantun, dan lain-lain melalui olah otak dan gerak tangan (menulis di kertas).

Dengan demikian, soal UASBN untuk SKL menulis yang berupa pilihan ganda jelas sangat tidak valid karena bukan menguji kompetensi yang seharusnya diuji.

Jika memang Depdiknas tetap ngotot menyelenggarakan UASBN 2008 meskipun pengadilan (pertama dan banding) telah melarang, maka cakupun SKL Bahasa Indonesia yang diujikan harus semua SKL, sebagaimana tercantum dalam Permendiknas No 23/2006 tentang SKL. Jika Badan Standar Nasional Pendidikan dan Pusat Pengujian Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas belum mampu mengembangkan instrumen penilaian SKL Mendengarkan, Berbicara, dan Menulis, sebaiknya Mendiknas minta bantuan Pusat Bahasa Depdiknas yang telah mampu mengembangkan soal Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia.

Dengan demikian, siswa dinilai dengan instrumen penilaian yang valid. Siswa akan mampu mengerjakannya karena instrumen penilaiannya sesuai dengan pembelajaran di kelas. Akan tetapi, jika Depdiknas tetap menguji siswa dengan soal sebagaimana kisi-kisi soal Bahasa Indonesia USBN 2008, masyarakat wajib menolak karena hasilnya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara normatif dan teoretik.

HANIF NURCHOLIS Konsultan pada Dinas Pendidikan Tangerang; Tinggal di Cirendeu, Ciputat, Kabupaten Tangerang

Hmmm... gimana tuh?:-?

Continue Reading
No comments
Share:

INSTAGRAM FEED

@soratemplates